Skip to main content





Random Thoughts

MAS EDI


Kemarin malam sebelum makan sama keluarga, tiba-tiba kakak saya cerita kalau mbak seseorang yang saya kurang tahu namanya, meninggal dunia. Pas denger saya langsung bilang “Kasian...”, dan seketika saya bisa merasakan semua otot-otot di badan saya ikutan sedih. Ini gak lebay, karena memang sesedih itu.

Mbak yang saya gak tau namanya ini adalah istri dari mas Edi. Mas Edi adalah seorang karyawan di kantor kakak saya, tapi saya juga kurang tahu jelas mas Edi kerja sebagai apa. yang jelas, bukan pekerjaan di belakang meja. Kalau gak salah sih mas Edi adalah driver di bagian antar barang. Saya gak kenal mas Edi secara pribadi, tapi sudah pernah ketemu di beberapa kesempatan. Misalnya pas saya lagi jemput kakak di kantor, dan kebetulan lagi waktunya gajian. Saya biasanya ngeliat mas Edi lagi ngantri buat ambil gaji. Orangnya kurus, berkumis, rambutnya gondrong dan keriting—yang membuat dia dijuluki Edi Brokoli. Juga baik, santun, humoris, ramah, walaupun harus diakui bahwa penampilannya kaya preman.

Keluarga saya mulai familiar dengan nama mas Edi sejak (alm.) kakak saya, Nina, masih dirawat di rumah sakit. Belakangan kita baru tahu kalau dia yang paling semangat bergerak keliling di kantor membawa kotak sumbangan untuk perawatan kakak saya. Dia juga yang jauh-jauh dari tol Sutami ke RS Siloam untuk mengantarkan uang sumbangan tersebut. Saya gak mau fokus sama besar sumbagannya ya, tapi saa tersentuh karena ketulusan hatinya. Sampai ketika kakak saya meninggal, dia yang 3 malam berturut-turut berjaga di rumah duka. Sampai perjalanan ke makam, mas Edi yang “pasang badan” mencegat setiap tikungan agar rombongan kami bisa jalan dengan lancar. Saya masih ingat dia pakai penutup muka saat itu. Persis orang mau demo. Malah mungkin ada yang ngira dia begal.

Sekitar sebulan lalu, istrinya memang dirawat di rumah sakit. Katanya ada masalah di ususnya, tapi sudah dioperasi. Setelah operasi itu, si mbak bilang katanya akan ada operasi kedua. Sesuatu yang berhubungan dengan ginjal. Saya sempat jenguk dan ketemu sama si mbak, orangnya cantik dan tetep senyum walaupun lagi dirawat. Begitu pula mas Edi. Dia malah masih ketawa-ketawa sama kakak saya. Ini yang bikin saya sedih pas denger si mbak sudah gak ada, karena saya sempet ketemu dan bahkan tidak mengira kalau penyakitnya separah itu.

Si mbak “pergi” meninggalkan suaminya, dan dua orang anak yang masih kecil—yang katanya pada gak mau tidur kalau gak ada ibunya. Hiks..


KOK CEPET YA?


Sampai saat saya ngetik tulisan ini, saya masih bertanya-tanya, kenapa si mbak kok secepat itu “dipanggil”. Kan? Padahal, pasti masih ada urusan yang harus diselesaikan. Pasti masih ada tanggung jawab yang harus dikerjakan. Mungkin masih ada janji yang harus ditepati. Cita-cita dan harapan yang belum terkabul. Masih ada orang-orang yang pengen ketemu dan pengen meluk lama-lama kalau emang tau bahwa “saatnya” sudah dekat.

Tapi nyatanya, tidak semua orang diberi waktu dan kesempatan untuk itu. Ada yang berpulang, padahal anaknya masih kecil, kaya si mbak. Ada yang berpulang, padahal belum sempet makan soto daging yang dia idamkan. Ada yang berpulang, padahal sebentar lagi sudah dapet gelar magister. Ada yang berpulang, padahal chat dari teman-teman yang nanya kondisi kesehatan belum sempat dibalas.  Ada juga yang berpulang.. padahal belum sempat berpelukan sama orang-orang yang dia sayang.
Semuanya terasa cepat dan gak disangka-sangka. Apalagi mereka yang berpulang di usia muda, pasti yang mendengar, langsung merespon dengan:

“Kasian, padahal masih muda..”
“Kasian, padahal anaknya pinter..”
“Kasian, belum nikah dia padahal..”

dan berbagai respon padahal-padahal lainnya.

Kalau bicara dari sisi agama, kita pasti tau kalau segala sesuatu memang sudah dirancang sama Tuhan. Semua itu ada maksudnya, dan itulah yang terbaik yang Tuhan berikan. Entah yang terbaik bagi yang berpulang, bagi kita, atau bagi siapa saja.

Roma 14:7-8 “Sebab tidak ada seorangpun di antara kita yang hidup untuk dirinya sendiri, dan tidak ada seorangpun yang mati untuk dirinya sendiri. Sebab jika kita hidup, kita hidup untuk Tuhan, dan jika kita mati, kita mati untuk Tuhan. Jadi baik hidup atau mati, kita adalah milik Tuhan.”
Tapi tetap saja, kadang memang sesusah itu untuk dimengerti kenapa, kenapa dan kenapa.


MEREKA YANG DITINGGALKAN


Rasa sedih sih sepertinya gak perlu ditanya lagi. Bagi saya, kehilangan orang yang saya sayangi untuk selamanya itu gak ada bagus-bagusnya. Apalagi orang terdekat, seperti kakak saya. Juga seperti mas Edi yang kehilangan istrinya. Pasti terasa gak ada hikmah yang bisa diambil. Gak ada yang bisa disyukuri kecuali satu, yaitu mengetahui kalau yang berpulang sudah gak perlu berurusan lagi sama—mungkin—penyakit dan berbagai masalah yang gak selesai-selesai di dunia.

20 tahun hidup saya, saya sudah mengalami beberapa kehilangan. Bukan kehilangan jati diri yang saya maksud, bukan juga kehilangan mantan. Pernah sih kehilangan HP, tapi bukan itu yang mau saya bahas.

Yang saya maksud, adalah kehilangan orang terdekat saya untuk selamanya. Alias meninggal. Saya perhalus dengan "berpulang".
Pertama, nenek saya yang berpulang pada tahun 2003. Waktu itu saya belum ngerti apa-apa, karena masih kecil menik-menik umur 6 tahun. Tapi saya ingat mama saya langsung histeris dan nangis-nangis.
Kedua, kehilangan papa yang berpulang di tahun 2011, saat saya kelas 2 SMP dan sudah mulai peka akan rasa kehilangan. Walaupun saya sama papa tidak sedekat saya sama mama, tapi rasa kehilangan itu tetap ada dan sangat terasa. (Ya iyalah wong bapakku) 😔
Ketiga, kakakku yang berpulang di Februari kemarin, dan yang kali ini sangat, sangat, sangat terasa sedihnya. Karena kami selalu bersama-sama.
Ya intinya semuanya terasa sih. Apalagi saya tahu persis bahwa masih banyak “hutang” yang belum saya lunasi untuk membahagiakan dan membanggakan mereka. Juga tersisa banyak hal yang saya sesalkan, kenapa waktu itu saya harus begini, begitu, yang mungkin membuat mereka sedih.

Mengetahui bahwa satu hal yang pasti di dalam hidup adalah kematian, membuka mata saya lebar-lebar bahwa setiap orang di hidup kita dan di sekitar kita, HARUS dihargai keberadaannya, dan diterima segala baik dan buruknya. Saya jadi suka kepikiran kalau habis ngelakuin sesuatu yang berpotensi (hmm OK berpotensi) bikin orang lain sedih atau kecewa atau gak nyaman. Saya takut kalau tiba-tiba “hal yang pasti” itu datang dan saya gak bisa apa-apa selain menyesal, gak enak hati, dan gak tahu mau minta maaf dengan cara seperti apa. Mau guling-guling pun kita gak akan tahu kita sudah dimaafkan apa enggak, toh.

Iya, kita gak akan tahu.
Seperti halnya waktu kakak saya meninggal, saya lagi larut dalam kesedihan di sebelah petinya, lah tau-tau dia (jenazahnya), ngeluarin air mata.

Deg.
Saya langsung ^%^%$&#@$!!!?
dan mulai berspekulasi:
“Aduh mati, salah apa aku ini sama kakakku”
“Apa kakakku juga sedih ya harus ninggalin keluarga?”
“Kak kak sorry udah tenang kita ikhlas kok”,
dan berbagai pikiran ngawur lainnya yang masih berkecamuk di kepala saya sampai kira-kira 2 minggu setelahnya.

“Kepastian yang pasti terjadi di hidup kita adalah kematian.
Kepastian yang lain, adalah ketidakpastian.”


Mboh.
Pas saya baca quotes ini di Twitter saya males mikir apa maksudnya, soalnya njlimet.
Tapi bener juga, kita pasti bertemu dengan kematian. Tapi kematian ini juga ada tidak-pasti nya. Tidak pasti kapan, tidak pasti dimana, tidak pasti bagaimana caranya, tidak pasti saya duluan, kamu duluan atau orang lain duluan.

Yha.
Tidak pasti siapa yang duluan.

Karena daritadi saya ngomongin sedu sedan orang yang ditinggalkan,
gimana jadinya kalau kita yang duluan meninggalkan?

Bagi saya—bagi saya loh ya, jawabannya adalah quotes favorit saya beberapa minggu ini:

Be kind, though we know it is so hard to always be kind in this cruel world, but at least we try. We’ve got nothing to lose to be a little nicer and kind to people.

Satu quotes lagi:

Hidup selalu penuh dengan ketidakpastian;tapi ada satu hal yang pasti,kita pasti selalu bisa memilih menjadi orang yang akan diingat karena membawa makna,atau menjadi orang yang pergi dengan meninggalkan nama saja.

Comments